Arah kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto dari sudut pandang pemikiran Bung Karno, dengan pendekatan filosofis, historis, dan logis. Disajikan secara ilmiah populer untuk pemahaman publik.
Kata Kunci: Prabowo Subianto, Bung Karno, kebijakan nasional, Pancasila, ekonomi kerakyatan, marhaenisme, IKN, food estate, oposisi, kedaulatan rakyat
1. Pendahuluan: Prabowo dan Bayang-Bayang Bung Karno
Pemerintahan Prabowo Subianto telah memulai fase barunya di tahun 2024 dengan ekspektasi besar. Sebagai seorang mantan jenderal dengan gaya nasionalistik, banyak yang mengaitkan gaya kepemimpinannya dengan warisan pemikiran Bung Karno. Apakah kebijakan Prabowo benar-benar sejalan dengan filosofi sang proklamator?
Narasi ini bertujuan menganalisis pendekatan kebijakan pemerintahan Prabowo melalui lensa pemikiran Bung Karno, termasuk ide tentang marhaenisme, ekonomi berdikari, serta politik internasional yang bebas aktif namun berpihak pada keadilan.
2. Marhaenisme dan Ekonomi Kerakyatan
Bung Karno memperkenalkan Marhaenisme sebagai ideologi yang membela rakyat kecil, khususnya petani dan buruh. Marhaen bukan proletar pasif, tetapi rakyat produktif yang diperas oleh struktur kapitalisme.
Pemerintahan Prabowo menekankan ekonomi yang kuat berbasis investasi dan ketahanan nasional. Namun sejauh mana kebijakan ini membela marhaen? Misalnya, proyek food estate membuka ribuan hektare lahan baru, tetapi banyak dikerjakan oleh korporasi besar, bukan koperasi rakyat.
Dalam logika Bung Karno, ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik alat produksi, bukan buruh dalam rantai korporasi negara.
3. Politik Identitas dan Pancasila
Pemerintahan saat ini menekankan stabilitas politik dengan mengakomodasi hampir semua kekuatan politik besar. Namun Bung Karno memperingatkan bahaya "politik tanpa ideologi". Dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menyebut Pancasila bukan sekadar dokumen, melainkan ideologi aktif yang menolak ekstremisme kiri dan kanan.
Stabilitas yang terlalu pragmatis bisa menjebak bangsa pada "status quo yang lunak," bukan perubahan revolusioner yang membebaskan. Pancasila harus menjadi alat transformasi, bukan hanya alat retorika.
4. Industrialisasi dan Berdikari
Bung Karno sangat menekankan pembangunan industri nasional sebagai jalan menuju kedaulatan ekonomi. Ia membangun pabrik baja, proyek mercusuar, dan mengedepankan riset teknologi.
Prabowo juga membawa narasi besar tentang kemandirian. Tapi, apakah kemandirian itu diterjemahkan dengan mengurangi ketergantungan impor secara riil? Ataukah sekadar narasi dalam proyek yang dibiayai utang luar negeri?
Konsep "berdikari" menurut Bung Karno berarti: berdiri di atas kaki sendiri — bukan hanya mandiri secara anggaran, tapi juga secara teknologi, pangan, dan pengambilan keputusan.
5. Militer dan Pembangunan
Pemerintahan Prabowo menunjukkan keinginan memperkuat peran militer dalam berbagai aspek, termasuk keamanan pangan, proyek infrastruktur, hingga pengamanan sumber daya.
Bung Karno tidak anti militer, tetapi menekankan bahwa kekuatan rakyat harus menjadi pusat. TNI harus menjadi alat pertahanan rakyat, bukan kekuatan politik. Oleh karena itu, penting memastikan militer tidak menggantikan fungsi sipil dalam pembangunan.
6. Konstitusi, Gotong Royong, dan Politik Pancasila
Gotong royong adalah semangat asli Indonesia. Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno menekankan pentingnya kerja kolektif, tapi juga pengambilan keputusan bersama. Pemerintahan Prabowo tampak berupaya menjaga stabilitas politik dengan membentuk kabinet besar. Tapi apakah rakyat terlibat secara deliberatif?
Pemerintahan yang besar bisa melahirkan efisiensi atau justru stagnasi jika tidak diawasi. Bung Karno mewanti-wanti, Pancasila tanpa pengawasan rakyat adalah kedok elite semata.
7. IKN, Food Estate, dan Pembangunan Proyek
Proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) disebut sebagai strategi jangka panjang. Bung Karno membangun Jakarta bukan untuk investor, tapi sebagai pusat semangat nasionalisme. IKN bisa jadi warisan, tapi juga bisa menjadi pengingkaran pada prinsip keadilan ruang jika masyarakat lokal tak dilibatkan.
Food estate juga menjadi kritik. Jika tidak berbasis koperasi rakyat, maka itu hanya duplikasi dari model kolonial: tanah luas dikelola elite.
8. Oposisi dan Demokrasi
Bung Karno selalu mengingatkan pentingnya "bayangan" dalam terang revolusi. Dialektika harus dijaga. Pemerintahan Prabowo yang minim oposisi bisa membuat rakyat kehilangan kanal koreksi. Tanpa oposisi, kekuasaan kehilangan cermin.
Oposisi bukan musuh negara. Ia adalah bagian dari nalar demokrasi yang sehat. Bung Karno menyebut: "oposisi adalah bagian dari gotong royong demokrasi."
9. Politik Luar Negeri dan Keberpihakan
Politik luar negeri Prabowo pragmatis: menjalin relasi dagang dan militer dengan banyak kekuatan dunia. Tapi Bung Karno selalu menekankan bahwa Indonesia tidak boleh netral jika melihat ketidakadilan. Kita harus bersuara untuk Palestina, Rohingya, dan bangsa yang tertindas lainnya.
Pragmatismenya harus dibarengi prinsip moral. Bung Karno berkata, "diplomasi adalah jalan untuk membela kemanusiaan, bukan hanya transaksi keuntungan."
10. Kesimpulan: Apakah Prabowo Sejalan dengan Bung Karno?
Sebagian iya: dalam hal kemandirian, nasionalisme, dan industrialisasi.
Sebagian belum: dalam hal partisipasi rakyat, oposisi, dan keberpihakan internasional.
Untuk benar-benar sejalan, kebijakan Prabowo harus lebih membumi — menyentuh petani, buruh, rakyat kecil. Ia harus menjadikan Pancasila sebagai alat perjuangan, bukan sekadar lambang. Dan membangun bangsa tidak dengan membungkam kritik, tetapi dengan mendengar rakyat.
"Revolusi belum selesai," kata Bung Karno. Tugas Prabowo adalah membuktikan bahwa revolusi itu tidak dikubur oleh stabilitas palsu.