Oleh : Hadi Hartono
Pendahuluan: Dua Tokoh Militer, Dua Zaman
Indonesia telah mengenal dua pemimpin besar yang berlatar belakang militer: Soeharto dan Prabowo Subianto. Keduanya berasal dari tradisi kemiliteran yang sama, yakni ABRI, dengan nilai-nilai seperti stabilitas, ketahanan nasional, dan kedaulatan negara sebagai fondasi utama dalam kepemimpinan. Namun keduanya lahir di zaman berbeda, menghadapi tantangan yang berlainan pula. Soeharto berkuasa dalam era Perang Dingin, sedang Prabowo memimpin Indonesia dalam era globalisasi, digitalisasi, dan krisis geopolitik baru.
Untuk memahami kebijakan Prabowo sebagai Presiden, menarik untuk mengkajinya dalam perspektif Soeharto—baik dari sisi ideologi pembangunan, strategi stabilitas nasional, maupun gaya kepemimpinan. Dengan pendekatan ini, kita dapat melihat apakah Prabowo benar-benar “penerus ideologis” Orde Baru atau justru seorang pembaharu dengan akar konservatif.
1. Ideologi Pembangunan: Prabowo dan Soeharto dalam Konsep Negara Kuat
Soeharto dikenal dengan ideologi pembangunan yang berorientasi pada stabilitas nasional sebagai prasyarat kemajuan ekonomi. Pembangunan jangka panjang dalam bidang pangan, pertanian, infrastruktur, dan industri diarahkan secara top-down. Dalam hal ini, Prabowo juga tampak mengusung pendekatan negara kuat—dengan penekanan pada ketahanan nasional, swasembada pangan, dan industrialisasi berbasis nasionalisme ekonomi.
Kemiripan:
Prabowo, seperti Soeharto, memandang negara sebagai aktor utama dalam pembangunan ekonomi.
Keduanya menekankan pentingnya ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi.
Pendekatan sentralistik masih terlihat, meski dengan balutan demokrasi elektoral.
Perbedaan:
Prabowo hidup dalam dunia yang lebih terbuka. Keterlibatan asing dalam investasi masih ia dorong dengan prinsip win-win.
Tidak seperti Soeharto yang memonopoli politik melalui Golkar, Prabowo tetap berada dalam kerangka koalisi multi-partai.
2. Ketahanan Pangan dan Swasembada: Cita-cita Lama yang Dihidupkan
Salah satu proyek besar Soeharto adalah program swasembada beras, yang pernah membuat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO. Prabowo tampak menghidupkan kembali semangat itu, bukan hanya pada beras, tetapi juga daging, jagung, dan komoditas strategis lainnya.
Prabowo mendorong kebijakan:
Reforma agraria terpadu.
Pembangunan bendungan dan irigasi.
Subsidi pertanian yang ditingkatkan.
Dukungan pada riset benih dan pupuk nasional.
Dalam hal ini, kita bisa melihat kesinambungan langsung dari ideologi ketahanan nasional Soeharto yang diterjemahkan Prabowo ke dalam konteks kekinian. Tantangan Prabowo lebih berat: urbanisasi cepat, degradasi lahan, dan tekanan pasar bebas.
3. Militerisme dan Politik: ABRI di Era Baru
Di masa Soeharto, ABRI adalah kekuatan dwifungsi—militer sekaligus politik. Soeharto mengandalkan loyalitas militer sebagai pilar stabilitas nasional. Prabowo tidak bisa lagi mengembalikan dwifungsi secara formal, tetapi memperkuat peran TNI dalam pembangunan dan kebijakan sipil.
Contoh:
Keterlibatan TNI dalam pengawasan proyek strategis nasional.
Penunjukan tokoh militer dalam jabatan sipil strategis.
Wacana cadangan nasional berbasis militer (komponen cadangan).
Pendidikan kebangsaan dan bela negara dihidupkan kembali di kampus dan sekolah.
Prabowo, seperti Soeharto, percaya bahwa nasionalisme harus ditanamkan secara sistematis dan negara harus kuat secara militer. Namun, Prabowo masih berusaha menjaga keseimbangan agar tidak melanggar semangat reformasi.
4. Hubungan Internasional: Non-Blok vs Strategis Aktif
Soeharto sangat berhati-hati dalam politik luar negeri. Ia menganut prinsip bebas aktif dengan semangat Non-Blok. Prabowo melanjutkan hal ini, namun dalam konteks dunia multipolar, ia menggeser pendekatan ke arah diplomasi pertahanan aktif dan pragmatisme ekonomi.
Perbandingan:
Soeharto menjaga jarak dari kekuatan besar, menjaga harmoni ASEAN.
Prabowo membuka pintu kerja sama pertahanan dengan AS, China, Rusia, dan Uni Eropa.
Ia aktif dalam diplomasi pertahanan seperti Indo-Pacific Security, Quad+, dan peran aktif dalam perdamaian global.
Pendekatan Prabowo bersifat realistik nasionalis: memaksimalkan keuntungan nasional dari rivalitas kekuatan dunia, tanpa kehilangan identitas politik luar negeri Indonesia.
5. Ekonomi Nasionalisme: Industri Strategis dan BUMN
Prabowo menunjukkan ketertarikan besar terhadap penguatan BUMN, terutama di sektor strategis: pertahanan, pangan, energi, dan logistik. Ia melihat BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi juga alat perjuangan negara. Hal ini mirip dengan Orde Baru yang menjadikan Pertamina, Krakatau Steel, dan Pusri sebagai lokomotif ekonomi.
Namun Prabowo menghadapi realitas berbeda:
Kompetisi pasar global dan digitalisasi.
Tekanan efisiensi dari publik dan lembaga internasional.
Tantangan korupsi di tubuh BUMN.
Dengan visi “Indonesia Emas 2045”, Prabowo mencoba melanjutkan cita-cita industrialisasi Soeharto yang sempat tersendat pasca-1998.
6. Politik Stabilitas: Konsensus daripada Konfrontasi
Soeharto mempertahankan stabilitas dengan pendekatan kontrol total: pembatasan oposisi, sensor pers, dan depolitisasi masyarakat. Prabowo, dalam era demokrasi terbuka, memilih pendekatan “stabilitas berbasis konsensus politik.”
Strategi yang digunakan Prabowo:
Merangkul hampir semua kekuatan politik (koalisi besar).
Pendekatan populis terhadap ormas dan kelompok Islam.
Komunikasi langsung dengan rakyat melalui media sosial dan kunjungan lapangan.
Namun stabilitas dalam demokrasi bukan tanpa tantangan. Kecenderungan oligarki dan minimnya oposisi membuat ruang kritik menyempit—sebuah kemiripan dengan masa Orde Baru dalam wajah baru.
7. Politik Identitas dan Integrasi Nasional
Soeharto menggunakan ideologi Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Ia melarang partai berdasarkan agama dan menekankan integrasi. Prabowo, di sisi lain, hadir dalam lanskap politik yang sarat politik identitas pasca 2014. Namun kini sebagai Presiden, ia tampak menghidupkan kembali semangat integrasi nasional ala Soeharto.
Langkah Prabowo:
Mendorong “Pancasila hidup” dalam kurikulum dan budaya.
Merangkul kelompok yang dulu berseberangan.
Meningkatkan peran lembaga seperti BPIP.
Meski begitu, Prabowo tidak bisa menutup mata terhadap fragmentasi sosial akibat media digital, hoaks, dan polarisasi lama.
8. Infrastruktur dan Legacy: Jalan Lanjutan Orde Baru?
Prabowo berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur. Ia tidak membongkar proyek Jokowi, justru melanjutkan dengan pendekatan lebih militeristik dan efisien. Dalam semangat ini, ia seperti mengulang narasi Soeharto: "pembangunan adalah keharusan nasional."
Program yang diprioritaskan:
Infrastruktur pertahanan dan logistik nasional.
Pelabuhan dan jalur darat kawasan timur.
Proyek strategis pangan dan energi.
Seperti Soeharto, Prabowo menyadari bahwa legacy politik akan ditentukan oleh warisan fisik dan simbolik yang ia tinggalkan.
9. Kesejahteraan Rakyat dan Ketimpangan
Soeharto berhasil menurunkan angka kemiskinan dan menaikkan pendapatan per kapita secara signifikan, terutama pada dekade 1980-an. Namun ia gagal mengatasi ketimpangan dan ketergantungan ekonomi terhadap kelompok elite. Prabowo tampak sadar akan hal ini.
Ia menggagas:
Reformasi subsidi dan bansos yang lebih terarah.
Pemberdayaan desa dan koperasi rakyat.
Redistribusi aset dan lahan.
Prabowo mengambil pelajaran dari kegagalan Orde Baru dalam distribusi manfaat pembangunan, meski tantangan struktural yang ia hadapi jauh lebih kompleks.
---
10. Simpulan: Prabowo sebagai Neo-Orde Baru atau Pembaharu?
Apakah Prabowo adalah reinkarnasi Soeharto?
Jawaban paling jujur: tidak persis. Ia bukan kloning Orde Baru, melainkan seorang neo-nasionalis yang menggunakan sebagian strategi dan nilai dari masa Soeharto, namun menyesuaikannya dengan zaman. Prabowo bukan diktator seperti Soeharto, namun bukan pula demokrat liberal murni. Ia memadukan stabilitas, populisme, dan kontrol negara dalam satu paket yang disebut “nasionalisme pragmatis.”
Kesamaan mereka:
Negara kuat sebagai syarat pembangunan.
Nasionalisme sebagai ideologi utama.
Pembangunan ekonomi top-down.
Ketahanan pangan dan pertahanan sebagai prioritas.
Perbedaannya:
Prabowo masih bekerja dalam sistem demokrasi dan globalisasi.
Ia tidak memonopoli kekuasaan partai.
Ia menggunakan pendekatan konsensus, bukan represi.
Dalam perspektif Soeharto, Prabowo mungkin dianggap murid yang setia dalam semangat, tapi adaptif dalam strategi. Ia tidak sepenuhnya berjalan di jalan Orde Baru, tetapi tidak meninggalkannya pula. Ia membangun jalan baru: Orde Stabilitas Demokratis, versi 2.0.
---