TUHAN, IZINKAN AKU MENJUAL DIRI
Cerpen oleh: Bung HH
Hujan tak pernah pandai memilih waktu. Ia turun saat seseorang sedang kehilangan, saat yang lain sedang mencari pekerjaan, atau saat Linea mematung di bawah halte Sudirman dengan sepatu basah dan harapan compang-camping. Jakarta sore itu bukan sekadar gelap—ia seperti lubang hitam yang menyedot martabat satu demi satu manusia bernama kecil.
Linea berdiri sendiri, ditemani payung retak dan selembar CV di tas plastik bening. Hari ini, wawancaranya yang ke-27. Perusahaan startup yang katanya “berbasis kemanusiaan dan masa depan” menyambutnya dengan meja marmer, kopi latte gratis, dan senyum HRD yang aroma parfumnya lebih mahal dari gaji bulanan pegawai kontrak.
“Terima kasih ya, Mbak Linea. CV-nya keren. Sayang banget, ya... sekarang tuh semua pakai orang dalam. Tapi nanti kalau ada lowongan OB, mungkin bisa kami hubungi.”
Orang dalam. Sebuah spesies langka yang, entah kenapa, selalu punya kualifikasi lebih dari gelar sarjana.
“Kalau mau sih... bisa coba titip ke Pak Bambang, bos kami. Cuma ya... tahu sendiri lah, ada 'biaya administrasi' sekitar lima juta. Itu juga belum pasti.”
Lima juta. Biaya untuk kesempatan diperbudak.
Linea tersenyum sopan, lalu pamit seperti orang baik-baik. Tapi di dalam, hatinya mulai mengelupas seperti dinding kos tua di pinggir Kali Item.
“Sarjana kok nyerah?”
Kalimat itu masih membekas dari komentar seorang influencer TikTok yang punya 3 juta followers dan otak seukuran kartu SIM. Katanya, mental miskin adalah penyakit. Ia lupa bahwa untuk sembuh dari penyakit, orang harus bisa beli obat dulu.
Linea berjalan pulang, melewati gedung-gedung kaca yang memantulkan wajahnya—tapi bukan wajah harapan. Ia menyapa lampu merah, menyusuri trotoar yang lebih mulus dari niat pemerintah memperbaiki pendidikan. Kota ini mempercantik wajahnya, tapi membiarkan perut rakyatnya kosong.
Ia mampir ke warteg, memesan nasi tanpa lauk.
“Masih hemat ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warteg dengan senyum kecut.
Linea hanya mengangguk. Baginya, mengunyah nasi dan air putih adalah bentuk paling sederhana dari bertahan hidup. Lauk bisa menunggu, seperti panggilan kerja. Seperti keadilan.
Sesampainya di kamar kos, ia membuka HP. Ada 11 pesan dari aplikasi pinjol. Satunya berkata, “Kami akan datang malam ini jika tidak bayar.”
Lucu. Negara ini tak pernah secepat itu memberi bantuan, tapi hutang bisa mengancam lebih cepat dari ambulans.
Dan di antara notifikasi itu, satu pesan dari rumah sakit:
"Biaya operasi Ibu Anda harus dibayar sebelum besok pagi. Mohon segera melunasi agar tindakan dapat dilakukan."
Linea menggigit bibir. Selembar bon menyelamatkan nyawa. Tapi ia tak punya selembar pun.
Malam itu, ia kembali keluar. Berjalan ke daerah yang dulu hanya ia lihat di film dokumenter atau kanal investigasi. Trotoar Blok M dipenuhi lampu neon, bau parfum murah, dan langkah kaki yang menunggu harga diri untuk dijual per jam.
Ia berdiri mematung. Rambutnya belum disasak. Bibirnya belum merah. Tapi mata itu... mata orang yang lelah ditendang kenyataan.
Datanglah seorang pria dengan mobil putih, kaca gelap. Kacanya turun.
“Berapa, Dek?” tanyanya datar.
Linea diam.
“Kalau baru pertama kali, saya bisa bayar lebih.”
Ia masih diam.
Pria itu menyalakan rokok. “Gak usah malu, semua juga jual diri sekarang. Bedanya, kamu terang-terangan, yang lain pakai jas dan dasi. Politisi, pengusaha, influencer, semua juga jual sesuatu—integritas, data rakyat, bahkan tanah negara. Kamu masih mending: kamu jujur.”
Linea menatap pria itu lama. Kalimatnya seperti puisi dari neraka.
Pria itu melirik jam tangan mahalnya. “Kalau gak mau, saya cari yang lain ya. Banyak kok sekarang sarjana nganggur yang mau…”
Mobil itu melaju, meninggalkan Linea dengan angin knalpot dan keping martabat terakhirnya yang retak. Ia duduk di trotoar. Seorang perempuan paruh baya mendekat, mengenakan dress yang terlalu tipis untuk musim hujan.
“Baru ya?” katanya sambil mengunyah permen karet. “Tenang, nanti juga biasa. Pertama kali memang berat. Tapi daripada mati pelan-pelan.”
Linea tak menjawab.
Langit seperti ikut menangis. Hujan turun lagi. Linea memejamkan mata, lalu menengadah. Seolah berkata pada Tuhan yang entah di mana.
“Tuhan… izinkan aku menjual diri. Karena ternyata, menjual tenaga tak cukup. Menjual otak tak laku. Menjual kejujuran malah dimaki. Aku tak punya pilihan lain. Tapi kalau masih ada cahaya, beri aku tanda.”
Dan tanda itu datang—bukan dari langit. Tapi dari pesan WhatsApp.
“Mbak Linea, kami butuh pengajar les privat untuk anak SMP. Gajinya kecil, tapi bisa tinggal di rumah kami. Tertarik?”
Pesan itu dari seorang ibu yang dulu pernah dibantu Linea membuat akun email. Tak penting siapa dia. Yang penting, ia tak meminta sogokan.
Linea tertawa—bukan karena bahagia, tapi karena ada ironi. Saat hampir menyerah, hidup menggoda.
Ia berdiri. Matanya masih merah, tapi langkahnya tak lagi menyeret. Malam ini, ia tidak menjual diri. Ia memilih bertahan. Bukan karena yakin akan masa depan, tapi karena memilih kalah dengan kepala tegak lebih baik daripada menang dalam lumpur.
EPILOG:
Suatu hari nanti, mungkin Linea akan duduk di kursi tamu sebuah podcast dan ditanya:
“Apa motivasi hidup Mbak Linea saat masa sulit?”
Dan ia akan menjawab dengan senyum kecil:
“Saya hampir menjual diri. Tapi Tuhan kirimkan sinyal dalam bentuk lowongan les.”
Lalu semua akan tertawa, memberi emoji api dan hati.
Lupa bahwa tawa itu dibangun di atas luka yang dulu tidak mereka pedulikan.
DISCLAIMER
Cerita berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Jual Diri” adalah karya fiksi yang ditulis untuk menggambarkan realitas sosial yang kompleks dan menyuarakan jeritan hati masyarakat marginal secara satiris dan menyayat. Cerita ini tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun, tidak mendorong tindakan negatif apa pun, serta tidak mempromosikan aktivitas ilegal dalam bentuk apa pun.
Tujuan utama cerita ini adalah membuka ruang refleksi, empati, dan diskusi publik tentang kesenjangan ekonomi, ketimpangan akses kerja, dan moralitas sosial di tengah tekanan hidup. Pembaca diharapkan menyikapi isi cerita dengan kedewasaan dan pemahaman bahwa ini adalah bentuk kritik sastra, bukan ajakan atau pembenaran terhadap tindakan ekstrem.
Jika Anda sedang mengalami kesulitan hidup yang berat, mohon jangan ragu mencari bantuan dari keluarga, komunitas, atau lembaga profesional.