Dialektika Bung Karno: Persimpangan Pemikiran dengan Tokoh Bangsa dan Dunia
Naonsia.com – Jakarta
Bung Karno tidak lahir dari ruang hampa. Di balik pidatonya yang menggelegar dan gerakan revolusinya yang membara, ada pergulatan pemikiran intens yang berlangsung sepanjang hidupnya. Hal inilah yang menjadi inti dari buku Dialektika Bung Karno karya Hadi Hartono—sebuah buku sejarah yang tidak hanya menyoroti sosok Sukarno sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai figur dialektis yang berinteraksi dan berdebat dengan para pemikir besar, baik dari Indonesia maupun dunia.
Dalam bukunya, Hartono menggarisbawahi bagaimana Bung Karno beradu dan bertemu gagasan dengan tokoh-tokoh penting bangsa seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Tan Malaka. Sukarno dan Hatta, yang sering digambarkan sebagai "dwitunggal", nyatanya memiliki jalan berpikir yang kerap berseberangan. Sukarno menekankan kekuatan massa dan agitasi politik, sedangkan Hatta lebih mengedepankan kerja teknokratis dan pendekatan diplomatik. Perbedaan ini, menurut Hartono, adalah kekuatan bangsa, bukan kelemahan.
“Bung Karno percaya revolusi lahir dari gelora rakyat yang bangkit. Hatta percaya pada rasionalisasi kekuasaan dan sistem. Dialektika ini yang kemudian membentuk fondasi negara,” tulis Hartono.
Buku ini juga menyoroti pertentangan ideologis antara Sukarno dan Sutan Sjahrir, di mana Sjahrir menolak pendekatan Sukarno yang cenderung populis dan revolusioner. Di sisi lain, Sukarno menilai demokrasi liberal ala Sjahrir terlalu elitis dan tidak membumi. Dalam dinamika ini, lahir pertanyaan besar: siapa yang paling memahami jiwa bangsa Indonesia?
Tak hanya di dalam negeri, Bung Karno juga melakukan dialektika global. Ia banyak berinteraksi, secara langsung maupun melalui pemikiran, dengan tokoh-tokoh besar dunia seperti Mahatma Gandhi, Pandit Nehru, hingga Presiden AS John F. Kennedy.
Sukarno menghormati Gandhi sebagai tokoh moral dunia, namun tidak serta-merta mengadopsi pendekatan non-kekerasan total. “Saya bukan Gandhi,” kata Bung Karno suatu ketika, “saya adalah Sukarno yang memikul derita rakyat tertindas.”
Dalam hubungan dengan Nehru, terjalinlah semangat solidaritas Asia-Afrika yang berpuncak pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Sementara dengan John F. Kennedy, Sukarno sempat membangun hubungan dekat yang strategis—hingga peristiwa pembunuhan JFK yang mengejutkan dunia dan turut mengguncang posisi politik Indonesia.
Menurut Hartono, Bung Karno adalah jembatan antara Timur dan Barat, antara rakyat dan elite, antara spiritualitas dan revolusi. Dalam setiap pertemuannya dengan tokoh dunia, terjadi pertukaran gagasan yang memperkaya bukan hanya dirinya, tetapi juga arah bangsa yang ia pimpin.
“Bung Karno adalah dialektika itu sendiri,” tulis Hartono dalam bab penutup bukunya.
Buku Dialektika Bung Karno kini tersedia secara digital dan telah menuai banyak apresiasi di kalangan pembaca muda maupun pengamat sejarah.
📘 Baca selengkapnya di:
https://kbm.id/book/detail/9ad2330d-64be-42b7-8bf2-f64e7c9b3b03
#DialektikaBungKarno #HadiHartono #SejarahIndonesia #TokohNasional #TokohDunia #LiterasiPolitik #NasionalismeModern #BungKarno #NaonsiaNews