Resensi Naratif – MARIA: Romantika Perempuan Aktivis
Dalam bayang-bayang sebuah keraton Banten yang agung, lahirlah seorang perempuan yang kelak akan mengguncang tatanan zaman. Namanya: Maria Ulfah Djajadiningrat. Putri dari keluarga bangsawan priyayi tinggi, namun sejak kecil hatinya lebih tertarik pada suara tangisan rakyat daripada dentang genta keagungan istana. Novel ini membuka kisahnya dengan ketegangan batin seorang gadis remaja yang gelisah melihat dunia yang timpang: laki-laki memegang kuasa, perempuan diam dalam aturan adat, dan Belanda tertawa dari balik kantor kontrolir.
Maria kecil dibesarkan dalam kemewahan—dengan pengasuh, pelajaran tata krama Eropa, dan guru-guru Belanda—namun ia selalu merasa asing dalam kehidupannya sendiri. Ayahnya, R.A.A. Djajadiningrat, adalah seorang bupati yang moderat, dan ibunya seorang perempuan berselendang halus yang lebih banyak tunduk daripada bicara. Tapi darah pemberontak dari garis darah ibunya—seorang ningrat perempuan dari Banten bagian dalam—mendidih dalam dirinya. Ketika remaja, ia membaca diam-diam buku-buku Kartini, surat-surat Multatuli, dan tulisan-tulisan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia mulai mempertanyakan: Mengapa perempuan tidak boleh memilih? Mengapa hukum adat hanya berpihak pada lelaki?
Puncak tekadnya meledak ketika ia menyaksikan seorang perempuan desa dijatuhi hukuman atas tuduhan perceraian, tanpa pembelaan. Maria yang saat itu baru lulus HBS (sekolah Belanda) berdiri gemetar di halaman pengadilan adat, bersumpah dalam hatinya: “Suatu hari nanti aku akan berdiri di ruang ini dan membela perempuan.”
Demi itu, ia menolak lamaran dari seorang bangsawan muda kaya yang ditawarkan keluarganya. Keputusannya mengguncang keluarga. Ibunya menangis, dan ayahnya marah besar. Tapi Maria bersikeras: ia ingin kuliah hukum. Maka ia dikirim ke Belanda, dengan harapan bahwa jarak dan waktu akan ‘menjinakkan’ semangat liar putri sulungnya.
Ternyata yang terjadi sebaliknya.
Di negeri asing yang penuh salju dan liberalisme itu, Maria justru menemukan dirinya. Ia kuliah di Universitas Leiden dan menjadi perempuan Indonesia pertama yang lulus sarjana hukum. Di sana, ia tidak hanya belajar pasal-pasal hukum Barat, tapi juga berguru pada tokoh-tokoh nasionalis muda seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan tokoh-tokoh pergerakan buruh internasional. Malam-malamnya diisi dengan diskusi tentang kolonialisme, sosialisme, dan feminisme. Ia membaca Simone de Beauvoir, Rosa Luxemburg, dan Clara Zetkin. Dalam satu percakapan panas dengan mahasiswa Belanda, Maria berkata:
“Perempuan bukan hanya istri atau ibu. Kami juga pemikir, pejuang, dan pembangun bangsa. Kau akan melihatnya nanti.”
Kepulangannya ke Hindia Belanda disambut dingin oleh para pejabat kolonial dan lebih dingin lagi oleh keluarganya. Seorang perempuan berpendidikan hukum dianggap terlalu ‘keras’ untuk jadi istri, apalagi bagi lelaki priyayi. Namun Maria tidak peduli. Ia menolak tawaran kerja dari kantor Belanda, dan memilih membuka biro bantuan hukum kecil untuk perempuan-perempuan miskin. Ia mengajar di sekolah Muhammadiyah, memberi penyuluhan hukum di desa-desa, dan membela perempuan yang hendak bercerai dari suami yang kejam. Di sinilah ia mulai dikenal sebagai “advokat perempuan pertama di Hindia”.
Tapi perjuangan Maria bukan tanpa luka. Dalam salah satu kasus yang menyita perhatian pers, ia membela seorang istri pejabat pribumi yang disiksa suaminya. Meski menang, Maria justru difitnah telah merusak rumah tangga ‘bangsawan’. Komunitas priyayi mengecamnya. Bahkan surat kabar kolonial menyebutnya sebagai “perempuan tanpa rasa hormat pada adat”. Ia kehilangan donatur, kehilangan dukungan. Bahkan ibunya sendiri sempat berkata, “Maria, kau bukan lagi anak Jawa. Kau terlalu Belanda.”
Namun luka itu menjadi bahan bakar. Pada 1935, Maria aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia. Ia berpidato di hadapan ratusan aktivis perempuan, menyerukan revisi hukum perkawinan dan hak pendidikan untuk anak perempuan. Di sanalah ia bersua dengan seorang pemuda idealis bernama Soebadio Sastrosatomo, yang kelak menjadi sahabat, cinta, dan mitra perjuangannya. Tapi kisah cinta mereka tidak romantis seperti dongeng. Soebadio adalah aktivis politik yang diawasi intel Belanda. Hubungan mereka dijalani dalam bayang-bayang pengawasan dan potensi pengasingan. Mereka saling bertukar surat dengan kode, bertemu di rumah-rumah aktivis yang gelap dan tersembunyi. Cinta mereka bukan cumbu rayu, melainkan peluh dan perjuangan.
Tahun-tahun menjelang kemerdekaan, Maria menjadi bagian dari Komite Nasional Indonesia. Saat Jepang masuk dan Belanda mundur, Maria tidak berhenti. Ia justru membuka dapur umum, rumah perlindungan perempuan, dan terus mengajar hukum dalam kelas-kelas kecil. Ia menolak bekerja untuk Jepang, walau banyak yang membujuk.
Dan ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Maria berdiri di antara kerumunan rakyat yang bersorak. Tapi ia tahu kemerdekaan bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan baru.
Pada 1946, Presiden Soekarno mengangkat Maria sebagai Menteri Sosial. Ia menjadi perempuan pertama yang masuk kabinet Republik Indonesia. Maria tidak hanya menjadi simbol, tapi pemimpin sejati. Ia merancang program rehabilitasi untuk janda dan anak korban perang, menggalang dukungan internasional, dan menulis sendiri pidato-pidato kebijakan sosial. Dalam satu kesempatan, ia berkata:
“Kemerdekaan tanpa keadilan sosial hanyalah ganti penjajah. Dan keadilan tidak mungkin tercapai tanpa membebaskan perempuan dari belenggu hukum dan tradisi.”
Namun jabatan juga membawa cobaan baru. Maria harus menghadapi elit politik laki-laki yang memandangnya sebelah mata, bahkan berusaha menjegalnya secara politik. Ia juga menghadapi dilema pribadi: Soebadio ditugaskan menjadi duta besar, dan mereka harus berpisah. Surat-surat cinta mereka penuh dengan renungan tentang perjuangan, rumah, dan kehilangan.
Maria tidak menyerah. Bahkan ketika kabinet berganti-ganti, ketika perang saudara merebak, ketika Soebadio ditahan oleh rezim baru, Maria tetap berdiri. Ia tidak kembali ke istana, tidak mengambil posisi elitis. Ia kembali ke jalan-jalan Jakarta, kembali ke ruang-ruang hukum kecil, kembali ke suara perempuan yang dulu ia bela. Ia menjadi guru, mentor, dan pembela hak hingga usia senja.
Novel ini berakhir dengan adegan yang syahdu: Maria, yang telah tua dan renta, duduk di beranda rumah kecilnya di Jakarta Selatan. Di pangkuannya, cucunya bertanya, “Apa nenek tidak menyesal tidak jadi istri Bupati seperti yang dulu direncanakan?”
Maria tersenyum, menatap langit Jakarta yang redup.
“Kalau nenek menuruti mereka, mungkin sekarang nenek jadi istri yang duduk di balik kelambu. Tapi karena nenek memilih jalan ini, kini banyak perempuan bisa kuliah, bisa menggugat suaminya yang memukul, dan bisa jadi menteri. Apa itu bukan cinta yang utuh?”
Penutup Resensi
MARIA – Romantika Perempuan Aktivis bukan sekadar biografi tokoh, melainkan sebuah epos tentang keberanian seorang perempuan yang berdiri di tengah pusaran zaman. Hadi Hartono menyajikan novel ini dengan narasi yang puitis, tajam, dan penuh empati. Ia tidak hanya memuliakan sosok Maria, tapi juga menunjukkan kompleksitas pilihan-pilihannya.
Dengan detail sejarah yang akurat dan karakterisasi yang manusiawi, novel ini layak menjadi bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami peran perempuan dalam sejarah Indonesia—bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai pilar.
Jika kamu membaca novel ini, bersiaplah untuk merasakan cinta yang tak biasa: cinta pada keadilan, cinta pada bangsa, dan cinta yang bertahan meski dunia berubah.
Baca Novelnya di https://kbm.id/book/detail/f2e5327e-fc00-411b-92e7-45530f170cb9
#MariaUlfah
#NovelSejarah
#PerempuanIndonesia
#AktivisPerempuan
#SejarahIndonesia
#PahlawanPerempuan
#NovelInspiratif
#SastraIndonesia
#PerempuanHebat
#KisahNyata
#FeminismeIndonesia
#HadiHartono
#LiterasiIndonesia
#KisahPerempuan
#NovelHukum
#PerjuanganPerempuan
#KartiniMuda
#PendidikanPerempuan
#RevolusiIndonesia
#PerempuanBerdaya
#BukuRekomendasi
#BukuIndie
#KisahPerjuangan
#PolitikPerempuan
#NovelBertemaSejarah
#PerempuanPejuang
#BacaanBermakna
#PerempuanMenteri
#KisahMenginspirasi
#KBMidNovel