ca-pub-2565852941147038 Novel "Tiga Penjaga Benteng" Hadirkan Sejarah Lokal Sebagai Lahan Imajinasi Baru

Novel "Tiga Penjaga Benteng" Hadirkan Sejarah Lokal Sebagai Lahan Imajinasi Baru

Hadi Hartono
By -
0

Novel "Tiga Penjaga Benteng" Hadirkan Sejarah Lokal Sebagai Lahan Imajinasi Baru

Tangerang, gerungnews.com
Apa jadinya jika sejarah lokal, spiritualitas, dan perlawanan terhadap kolonialisme diramu dalam sebuah kisah epik yang hidup, emosional, dan berakar kuat pada tradisi lisan masyarakat? Itulah yang coba dihadirkan oleh Hadi Hartono dalam novel terbarunya yang berjudul “Tiga Penjaga Benteng”.

Diterbitkan secara independen melalui platform J-Maestro Indonesia, novel ini mengangkat kembali nama-nama yang kerap terlupakan dalam buku sejarah: Arya Wangsakara, Arya Jaya Santika, dan Arya Maulana Yudhanegara—tiga pemimpin spiritual dan organisatoris utusan Kesultanan Banten yang membentuk akar peradaban masyarakat Tangerang pada abad ke-17.

“Novel ini bukan soal nostalgia. Ini tentang akumulasi luka, doa, dan strategi bertahan. Ini tentang bagaimana benteng bisa dibangun dari kesadaran, bukan bata,” ungkap Hadi saat ditanya soal motivasinya menulis buku ini.

Sejarah Sebagai Arena Cerita

Tiga Penjaga Benteng adalah karya fiksi historis yang menembus batas genre. Dengan latar peralihan dari era Sumedang Larang menuju dominasi VOC di Batavia, Hadi memadukan arsip kolonial, babad lokal, dan kisah-kisah ziarah yang masih hidup dalam budaya masyarakat Banten.

Alih-alih hanya mengedepankan kronologi, novel ini memilih pendekatan karakter. Para Arya bukan sekadar aktor sejarah, melainkan representasi nilai—mulai dari spiritualitas, pertanian berdaulat, hukum adat, hingga semangat kolektivitas yang jadi fondasi masyarakat sebelum kapitalisme kolonial menyusup lewat sistem partikelir dan pacht.

“Benteng yang Tak Terlihat”

Buku setebal ±50.000 kata ini mengajak pembaca untuk memahami sejarah dari perspektif yang lebih intim. Tak ada pasukan modern atau istana megah—yang ada hanyalah pesantren bambu, ladang padi, suara azan subuh, dan strategi menghadapi intrik Belanda di tepian Cisadane.

Konflik demi konflik dibangun perlahan. Dari mandat Sultan Ageng Tirtayasa, pembukaan kampung-kampung seperti Lengkong dan Jayanti, hingga serangan VOC ke wilayah Cikokol yang klimaksnya menyentuh sisi emosional dan politis pembaca.

Untuk Siapa Buku Ini Ditulis?

Novel ini menjangkau lintas generasi. Ia bisa dibaca sebagai:

  • Sumber pengayaan sejarah lokal bagi pelajar dan guru,

  • Inspirasi spiritual dan sosial bagi pegiat komunitas,

  • Referensi sastra historis bagi penulis dan seniman,

  • Dan sebagai pengingat identitas akar bagi masyarakat urban yang makin tercerabut dari sejarah lingkungannya.

"Ini novel yang ngajarin kita: perjuangan nggak selalu pakai senjata. Kadang doa, sawah, dan keberanian bertahan itu jauh lebih kuat dari peluru," tulis salah satu pembaca dari komunitas #ZiarahLiterasi.

Beli dan Dukung Karya Lokal

Novel “Tiga Penjaga Benteng” saat ini sudah tersedia dan bisa dipesan langsung melalui website resmi:

Link Pembelian:
👉 https://j-maestro.my.id/product/tiga-penjaga-benteng-hadi-hartono







📲 Hashtag 

#TigaPenjagaBenteng  
#ZiarahLiterasi  
#SejarahTangerang  
#FiksiHistoris  
#HadiHartono  
#LiterasiAkar  
#SastraLokalIndonesia  
#BentengTanpaBatu  
#BantenBerdaya  
#NaonsiaLiterature

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Ok, Go it!