ca-pub-2565852941147038 Lie Eng Hok, Lahir di Balaraja, Dibuang ke Boven Digoel

Lie Eng Hok, Lahir di Balaraja, Dibuang ke Boven Digoel

Hadi Hartono
By -
0


 


Bayangkan seseorang yang hidup di antara riuh revolusi, namun langkahnya tak pernah tercatat dalam narasi besar republik. Seseorang yang menulis ketika kebebasan bicara adalah sebuah kemewahan, yang bertahan hidup dalam pengasingan karena cinta pada tanah yang belum diakui sebagai tanah airnya. Itulah Lie Eng Hok—nama yang lama tak disebut, tapi tak pernah benar-benar hilang.

Ia lahir pada tanggal 7 Februari 1893 di Desa Balaraja, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang—wilayah yang kala itu berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda. Desa itu tak dikenal dalam peta perjuangan, tak tercatat sebagai pusat pergerakan atau perlawanan. Tapi di sinilah, dari kampung kecil yang diabaikan sejarah, lahir seorang anak Tionghoa yang kelak menjadi saksi dan pelaku sunyi dalam perjuangan Indonesia.

Orangtua Lie Eng Hok adalah keluarga pedagang kecil. Mereka menjual barang-barang kebutuhan harian, hidup sederhana, dan seperti kebanyakan warga Tionghoa peranakan kala itu, menjaga jarak dari urusan politik bumiputra maupun agenda pemerintah kolonial. Tapi Lie kecil memiliki rasa ingin tahu yang tak bisa ditahan. Ia belajar membaca dari pamannya, mencuri waktu di antara pekerjaan rumah dan membantu toko.


Balaraja pada akhir abad ke-19 adalah desa pertanian dan perdagangan kecil. Di sekitarnya, tanah-tanah digarap untuk tanaman pangan, kebun kelapa, dan sebagian kecil komoditas ekspor kolonial lainnya. Tidak ada perkebunan sawit besar seperti yang ada di Sumatra atau Kalimantan, tetapi kehidupan tetap dikepung oleh ketimpangan. Tuan tanah lokal dan pedagang besar, seringkali bersekutu dengan pejabat kolonial, menguasai lahan dan akses dagang. Para petani dan pedagang kecil hidup dari hari ke hari, dengan pengawasan ketat dari mandor dan polisi kolonial. Di lingkungan seperti inilah Lie tumbuh, menyaksikan bagaimana ketidakadilan menjadi hal yang normal—dan dari sanalah rasa marah yang sunyi mulai tumbuh dalam dirinya.


Pendidikan formal yang diterima Lie terbatas. Sekolah Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan) memberikan pelajaran dasar—membaca, menulis, dan aritmatika. Tapi lebih dari itu, Lie menjadi murid kehidupan. Ia mencatat segala ketimpangan di sekelilingnya. Ia mendengar cerita buruh dari pelabuhan dan jalur kereta, melihat bagaimana polisi kolonial memukul petani yang tidak membayar pajak. Semua itu ia simpan dalam pikirannya.


Pada usia 20-an, Lie meninggalkan Balaraja menuju Batavia. Di sinilah ia mulai bergabung dengan jaringan pergerakan yang tengah tumbuh. Ia bekerja sebagai tukang tulis dan tukang sablon di media-media kecil. Dari situlah ia bertemu dengan para aktivis: wartawan, mahasiswa, seniman. Ia menulis artikel di surat kabar berbahasa Melayu, Tionghoa, bahkan Belanda. Nama penanya beragam—karena di masa itu, menulis tentang ketidakadilan bisa berarti penjara.


Lie bukan orator. Ia tak berpidato di depan massa. Tapi ia seorang pendengar yang baik, dan pencatat yang teliti. Ia mencatat percakapan di warung kopi, keluhan pedagang kecil, bisik-bisik tentang penyiksaan tahanan politik. Semua itu ia rekam dalam bentuk esai, puisi, dan laporan pendek. Kadang tulisan-tulisannya hanya bertahan sehari sebelum disita polisi kolonial. Tapi ia menulis terus.


Ia bersahabat dengan W.R. Supratman, pencipta lagu "Indonesia Raya." Dalam salah satu kisah yang diceritakan turun-temurun oleh keluarganya, Lie membantu menyebarkan selebaran lirik lagu itu secara sembunyi-sembunyi sebelum Kongres Pemuda 1928. Ia juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh kiri awal abad ke-20 seperti Semaoen dan Tan Malaka—meski tidak pernah menjadi bagian dari struktur resmi Partai Komunis Indonesia.


Pada 1926, saat pemberontakan PKI meletus di berbagai daerah, banyak tokoh pergerakan—termasuk yang bukan komunis—ditangkap secara massal. Lie ikut tersapu gelombang itu. Tanpa pengadilan, ia dikirim ke kamp pengasingan Boven Digoel, Papua. Di sana, ia hidup bersama ratusan tahanan politik: ulama, nasionalis, buruh pelabuhan, guru, dan jurnalis.


Pengasingan di Digoel menjadi babak paling gelap dalam hidup Lie, tapi juga yang paling membentuknya. Ia hidup dalam kondisi memprihatinkan: malaria, kekurangan makanan, dan pengawasan ketat. Tapi bahkan di sana, ia tetap menulis—pada sobekan kertas, di belakang bungkus rokok, pada helai pakaian yang usang. Ia menulis puisi untuk temannya yang mati karena sakit. Ia mencatat peristiwa-peristiwa kecil: pencurian, kelahiran, percakapan malam hari.

Setelah enam tahun di pengasingan, Lie dibebaskan pada awal 1930-an. Tapi kebebasan itu hanya setengah hati. Ia tetap diawasi, dicatat dalam daftar hitam, dan dijauhi banyak orang.


Ia hidup berpindah-pindah: dari Semarang ke Yogyakarta, lalu ke Solo. Ia mengajar anak-anak secara diam-diam di teras rumah, menyalin pelajaran tangan ke tangan, tetap menulis dalam diam.


Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Lie kembali menghadapi ancaman. Banyak eks tahanan politik ditangkap kembali. Tapi Lie memilih strategi bertahan: ia diam. Ia tidak terlibat dalam organisasi kolaborator, tapi juga tidak melakukan tindakan mencolok. Ia bertahan dengan cara menolak dilenyapkan—menulis memoar kecil, mencatat kejadian-kejadian di kampung, menjadi pengamat sejarah dalam bayang-bayang.


Kemerdekaan datang pada 1945. Tapi bagi Lie, kemerdekaan itu tidak datang bersama pelukan. Tidak ada undangan dari pemerintah baru, tidak ada penghargaan, tidak ada ucapan terima kasih. Ia kembali ke Balaraja—tubuhnya ringkih, matanya rabun, tapi semangatnya tetap menyala. Ia membuka kelas kecil di teras rumahnya. Ia mengajarkan sejarah dan bahasa, dan yang lebih penting: mengajarkan berpikir.


Barulah pada 1957, lewat surat dari Kementerian Sosial, Lie diakui sebagai salah satu "Perintis Kemerdekaan." Tapi pengakuan itu datang tanpa sorotan, tanpa seremoni. Ia tidak peduli. Ia hanya menggantungkan surat itu di dinding rumahnya, di samping foto peta Hindia Belanda yang lama.


Lie Eng Hok meninggal dunia pada tahun 1961, dalam usia 68 tahun. Ia dimakamkan secara sederhana. Tak banyak yang hadir. Tak banyak yang tahu.


Namun sejarah, seperti sungai yang terus mengalir, akhirnya menyentuh kembali nama-nama yang terlupakan. Pada tahun 1986, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Dan dari situlah, perlahan, kisahnya mulai disebut lagi.


Prolog ini adalah undangan untuk mengenal lebih dalam sosok Lie Eng Hok—seorang perintis dari pinggir sejarah. Melalui kisahnya, kita akan menelusuri bagaimana keberanian bisa hadir dalam bisikan, bagaimana cinta tanah air bisa bertahan tanpa pengakuan, dan bagaimana sejarah kadang membutuhkan waktu yang panjang untuk menebus keadilannya.


Mari masuk ke dalam kisah ini. Bukan untuk mengangkat Lie sebagai pahlawan dalam definisi yang kaku, tapi untuk mendengar suaranya—yang lama terkubur oleh hiruk-pikuk sejarah resmi.


Karena republik ini lahir bukan hanya dari yang bersuara keras. Tapi juga dari mereka yang bertahan dalam sunyi.


Baca kisah lengkapnya di https://kbm.id/book/detail/de005543-a3ba-4861-9fe5-be0bdc4b9491










#LieEngHok
#PahlawanSunyi
#SejarahTionghoa
#BovenDigoel
#NovelSejarah
#LiterasiIndonesia
#TokohTerlupakan
#PerintisKemerdekaan
#JejakSunyi
#PahlawanTanpaMedali
#DariBalaraja
#IndonesiaMelawanLupa
#RevolusiSunyi
#PahlawanDalamBayang
#KisahNyata
#NovelHistoris
#LiteraturIndonesia
#CeritaTionghoa
#TionghoaIndonesia
#JalurSunyi
#PerlawananDiam
#MemoarKemerdekaan
#DibalikSejarah
#KisahYangDilupakan
#PenulisPerlawanan
#JurnalisPejuang
#PengasinganDigoel
#SejarahYangTersembunyi
#SuaraYangTerpendam
#MenolakDilupakan
#BukuInspiratif
#CeritaIndonesia
#PejuangTanpaPanggung
#SejarahPinggiran
#TionghoaPeranakan
#BukuKBM
#RekomendasiBuku
#SejarahAlternatif
#NarasiTerlupakan
#BukuIndonesia
#FaktaSejarah
#LiterasiSejarah
#BukuDigital
#BacaanBermutu
#JejakPahlawan
#IndonesiaDahulu
#TokohInspiratif
#BangkitkanSejarah
#LawanLupa
#NovelTionghoa

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Ok, Go it!