Cina Benteng: Jejak Sejarah, Budaya, dan Identitas di Tengah Dinamika Nusantara
Oleh: Hadi Hartono
Pendahuluan
Cina Benteng merupakan sebutan bagi komunitas Tionghoa yang telah bermukim secara turun-temurun di wilayah Tangerang, terutama di sekitar kawasan yang dikenal sebagai "Benteng" (dari istilah Belanda Benteng atau benteng pertahanan). Komunitas ini memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak era kolonial Belanda dan telah berkembang menjadi kelompok masyarakat dengan identitas budaya khas yang membedakannya dari kelompok Tionghoa lainnya di Indonesia.
Artikel ini akan membahas secara sistematis mengenai asal-usul Cina Benteng, dinamika hubungan sosial dan politik mereka dalam sejarah Indonesia, aspek budaya dan tradisi yang dijalankan hingga hari ini, serta tantangan dan harapan yang dihadapi komunitas ini di era modern.
1. Sejarah dan Asal-usul Cina Benteng
1.1 Awal Kedatangan Tionghoa ke Nusantara
Kehadiran etnis Tionghoa di Nusantara telah terjadi sejak abad ke-7 Masehi, terutama melalui jalur perdagangan maritim. Di masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, pedagang dari Tiongkok datang dan menjalin hubungan ekonomi dan budaya dengan penduduk setempat. Namun, arus migrasi besar-besaran terjadi pada masa kolonial Belanda, terutama pada abad ke-17 hingga ke-19.
1.2 Penempatan di Tangerang
Pada abad ke-17, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) membawa banyak tenaga kerja dan pedagang Tionghoa ke Batavia untuk bekerja di berbagai sektor. Seiring meningkatnya jumlah imigran, ketegangan sosial pun terjadi. Salah satu peristiwa tragis adalah pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Sebagai akibatnya, banyak orang Tionghoa yang selamat dari tragedi tersebut melarikan diri dan menetap di pinggiran Batavia, salah satunya adalah Tangerang.
Pemerintah kolonial kemudian menetapkan wilayah khusus bagi mereka di sekitar bantaran Sungai Cisadane yang berada dekat dengan benteng pertahanan Belanda. Inilah yang kelak menjadi cikal bakal komunitas "Cina Benteng".
1.3 Status Sosial dan Politik pada Masa Kolonial
Cina Benteng tidak memiliki status yang sepenuhnya setara dengan warga Belanda, namun mereka juga dipisahkan dari penduduk pribumi dalam sistem stratifikasi kolonial. Mereka dikelompokkan sebagai "Vreemde Oosterlingen" (Timur Asing), bersama dengan etnis Arab dan India.
Beberapa dari mereka diberi peran sebagai "Kapiten Cina" untuk mengatur komunitasnya sendiri. Sistem ini melahirkan struktur sosial internal yang kuat di kalangan Cina Benteng, dan menciptakan peran-peran pemimpin lokal seperti Kapiten, Letnan, dan Mayor yang sekaligus menjadi penghubung antara komunitas Tionghoa dan pemerintah kolonial.
2. Identitas Budaya Cina Benteng
2.1 Perpaduan Budaya Tionghoa dan Lokal
Salah satu ciri khas Cina Benteng adalah perpaduan budaya Tionghoa dengan budaya lokal (Betawi dan Sunda). Proses akulturasi ini berlangsung selama ratusan tahun, menghasilkan tradisi, bahasa, dan gaya hidup yang unik.
Mereka tetap mempertahankan tradisi Tionghoa seperti Imlek, Ceng Beng, dan perayaan Cap Go Meh, tetapi dengan adaptasi lokal yang khas. Contohnya, pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin Cina Benteng menampilkan perpaduan kebaya encim dengan motif Tionghoa, serta aksesoris lokal.
2.2 Bahasa dan Kuliner
Bahasa yang digunakan komunitas ini juga merupakan hasil hibriditas: mereka tidak menggunakan bahasa Mandarin atau Hokkien secara utuh, melainkan dialek lokal yang bercampur dengan istilah Tionghoa. Dalam percakapan sehari-hari, banyak Cina Benteng yang fasih berbahasa Indonesia, Betawi, dan Sunda.
Kuliner Cina Benteng adalah kekayaan tersendiri, seperti kue keranjang, kue bikang, soto tangkar dengan cita rasa khas, dan berbagai makanan tradisional yang hanya bisa ditemukan di perkampungan mereka di Tangerang.
2.3 Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh Cina Benteng sangat beragam, termasuk Konfusianisme, Buddha, Taoisme, dan Kristen. Namun, karena pengaruh lokal yang kuat, sebagian dari mereka juga menjalankan tradisi kepercayaan leluhur atau bahkan memeluk Islam.
Perpaduan antara ajaran agama dan tradisi leluhur tercermin dalam upacara pemujaan arwah leluhur dan ritual-ritual khas seperti sembahyang kubur, upacara pernikahan, dan pesta panen.
3. Dinamika Sosial dan Politik
3.1 Stigma dan Diskriminasi
Cina Benteng tidak luput dari dinamika sosial yang kompleks. Sepanjang abad ke-20, mereka menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, baik secara sosial maupun struktural. Masa Orde Baru memperkuat diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa, termasuk pelarangan penggunaan bahasa dan simbol Tionghoa, serta asimilasi paksa.
Namun, Cina Benteng cenderung lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal dibandingkan kelompok Tionghoa lainnya, karena mereka telah berbaur dan hidup berdampingan secara sosial dan budaya selama berabad-abad. Hal ini menciptakan ruang dialog dan toleransi yang lebih baik, meskipun tetap ada tantangan dalam hal identitas.
3.2 Partisipasi Politik dan Sosial
Setelah reformasi 1998, kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa mulai dihapuskan. Hal ini membuka ruang bagi partisipasi Cina Benteng dalam dunia politik, pendidikan, dan ekonomi secara lebih luas. Beberapa tokoh Cina Benteng mulai tampil di kancah lokal sebagai pengusaha, aktivis budaya, hingga pejabat publik.
Lembaga-lembaga sosial dan yayasan kebudayaan pun didirikan untuk melestarikan warisan budaya Cina Benteng, termasuk dalam bentuk museum, pertunjukan seni, dan penerbitan sejarah lisan komunitas mereka.
4. Warisan Budaya dan Arsitektur
4.1 Kelenteng Boen Tek Bio
Kelenteng Boen Tek Bio di kawasan Pasar Lama Tangerang adalah salah satu simbol utama komunitas Cina Benteng. Didirikan pada abad ke-17, kelenteng ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya, serta menjadi tempat berkumpulnya masyarakat untuk merayakan hari-hari besar.
Arsitektur kelenteng menampilkan gaya Tionghoa klasik dengan ornamen naga, lilin besar, dan lentera merah. Namun yang menarik, Boen Tek Bio juga menampilkan pengaruh lokal pada tata ruang dan praktik keagamaannya.
4.2 Makam Tionghoa dan Rumah Warisan
Kompleks makam Cina Benteng menunjukkan perpaduan unik antara arsitektur Tionghoa dan lokal. Nisan dengan huruf Hanzi berdiri berdampingan dengan ukiran flora-fauna khas Nusantara. Rumah-rumah tua Cina Benteng pun mencerminkan perpaduan arsitektur Tionghoa, Eropa kolonial, dan arsitektur Betawi.
4.3 Perayaan Tradisi
Festival Cap Go Meh di Tangerang menjadi ajang penting pelestarian budaya Cina Benteng. Acara ini dimeriahkan dengan barongsai, pawai budaya, dan pertunjukan musik tradisional. Tak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, festival ini juga menjadi daya tarik wisatawan.
5. Cina Benteng dalam Lintas Zaman
5.1 Pendidikan dan Mobilitas Sosial
Pendidikan menjadi kunci penting bagi kemajuan komunitas ini. Banyak generasi muda Cina Benteng yang kini melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Namun, masih ada tantangan dalam hal kesenjangan sosial di kalangan Cina Benteng yang tinggal di perkampungan padat dan berpenghasilan rendah.
5.2 Ekonomi dan Perdagangan
Dari dulu hingga sekarang, Cina Benteng dikenal sebagai komunitas pedagang. Mereka mengelola toko, kios, dan bisnis kecil di pasar-pasar tradisional. Dalam dekade terakhir, beberapa dari mereka telah berkembang menjadi pengusaha sukses dalam bidang properti, perdagangan besar, dan manufaktur.
Namun, sebagian komunitas Cina Benteng masih bergelut dalam ekonomi informal, terutama di wilayah-wilayah yang terpinggirkan. Pemerataan pembangunan dan akses terhadap modal menjadi isu penting.
5.3 Relasi Antarkelompok
Salah satu kekuatan Cina Benteng adalah kemampuan mereka berinteraksi dan beradaptasi dengan kelompok-kelompok lain, terutama masyarakat Betawi dan Sunda. Kawin campur, kerjasama ekonomi, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial-keagamaan menjadi jembatan penting yang menjaga kohesi sosial.
Namun demikian, identitas Cina Benteng juga sering menjadi titik rawan dalam isu politik identitas, terutama menjelang pemilu atau saat terjadi konflik horizontal. Oleh karena itu, penguatan dialog antarbudaya menjadi penting.
6. Tantangan dan Harapan
6.1 Ancaman Globalisasi terhadap Tradisi
Dengan berkembangnya gaya hidup modern, generasi muda Cina Benteng cenderung mengalami krisis identitas. Banyak dari mereka yang tidak lagi memahami bahasa, nilai, dan praktik budaya leluhur. Jika tidak dilestarikan, warisan budaya yang unik ini bisa hilang.
6.2 Pelestarian Warisan Budaya
Berbagai inisiatif telah dilakukan untuk menjaga warisan Cina Benteng. Pemerintah Kota Tangerang dan komunitas lokal bekerja sama mengembangkan kawasan heritage di Pasar Lama, merevitalisasi rumah-rumah tua, dan membuat museum kecil.
Sekolah-sekolah dan yayasan sosial pun mulai menyisipkan kurikulum budaya lokal untuk generasi muda. Gerakan ini memperkuat rasa bangga terhadap identitas Cina Benteng, sekaligus membuka ruang pembelajaran lintas budaya.
6.3 Dialog dan Kesetaraan
Harapan ke depan bagi Cina Benteng adalah terciptanya masyarakat yang inklusif, di mana semua etnis dan budaya dapat hidup berdampingan dalam kesetaraan. Pengakuan terhadap kontribusi Cina Benteng dalam sejarah bangsa Indonesia harus terus diperkuat, agar tidak ada kelompok yang merasa terpinggirkan.
Penutup
Cina Benteng bukan sekadar komunitas etnis, melainkan bagian dari mozaik kebudayaan Indonesia yang kaya dan kompleks. Mereka telah membuktikan bahwa warisan leluhur bisa tetap hidup dalam keterbukaan, bahwa identitas bisa bersanding dengan perubahan, dan bahwa cinta tanah air tidak mengenal warna kulit atau aksen bahasa.
Dengan sejarah panjang, budaya yang unik, dan keteguhan dalam menghadapi perubahan zaman, Cina Benteng pantas mendapatkan tempat terhormat dalam narasi kebangsaan kita. Mereka adalah jembatan masa lalu dan masa depan, pengingat bahwa Indonesia berdiri di atas keberagaman yang harus dirawat bersama.
#CinaBenteng #SejarahTangerang #TionghoaNusantara #WarisanBudaya #CapGoMeh #BoenTekBio #SungaiCisadane #AkulturasiBudaya #PasarLamaTangerang #KulinerTionghoa #RumahTuaTangerang #MaknaIdentitas #BudayaLokal #TradisiTionghoa #FestivalCapGoMeh #ToleransiUmat #DiasporaTionghoa #Reformasi1998 #PerdaganganTradisional #KapitenTionghoa #LestarikanBudaya #MuseumCinaBenteng #ArsitekturKolonial #SeniPertunjukan #RagamIndonesia #PluralismeBudaya #KebudayaanTangerang #BahasaLokal #KeluargaMultikultural #KisahDiaspora #PolitikIdentitas #WarisanSejarah #HarmoniEtnik #KehidupanPesantren #DialogLintasBudaya #EkonomiKreatif #KampungTionghoa #LenteraBudaya #PerempuanTionghoa #KebayaEncim #NilaiLuhur #AgamaDanTradisi #RumahAdat #LiterasiBudaya #JejakKolonial #KearifanLokal #Kewarganegaraan #KesenianRakyat #SeniUkirTionghoa