Tangerang, awal tahun 1930-an. Sungai Cisadane mengalir tenang membelah kota yang perlahan berdenyut dalam bayang-bayang kolonialisme. Di tepian sungainya, perahu-perahu kecil masih lalu lalang, membawa hasil bumi dari pedalaman ke pasar-pasar di jantung kota. Asap dari dapur rumah-rumah kayu membumbung pelan, bercampur dengan bau teh melati, ikan asin, dan kue keranjang yang menguar dari gang-gang sempit Pasar Lama.
Di kota ini, orang-orang datang dengan harapan, dengan beban, dengan mimpi yang tak pernah utuh. Penduduk bumiputra, keturunan Tionghoa, Arab, dan sedikit Eropa, hidup berdampingan dalam dunia yang ditentukan oleh kasta-kasta administrasi kolonial: Pribumi, Timur Asing, dan Eropa. Jalan yang dipijak sama, langit yang dinaungi satu, namun undang-undang memisahkan mereka dengan garis-garis tak kasat mata.
Mei Ling lahir dari keluarga Lie, saudagar tekstil yang disegani namun konservatif. Ia tumbuh di antara doa-doa leluhur yang dibisikkan dalam bahasa Hokkien dan bau dupa yang membumbung setiap awal bulan Imlek. Sejak kecil, ia diajarkan untuk menjaga nama baik keluarga dan menjauhi hal-hal yang bisa mencoreng identitas Tionghoa-nya. Tapi di hatinya, selalu ada ruang yang tidak bisa dijelaskan. Sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi hanya oleh kemewahan dan kehormatan.
Sementara itu, Jamaludin adalah putra dari seorang guru kampung, dibesarkan dengan nilai-nilai Islam dan semangat kebangsaan yang perlahan tumbuh di tanah yang belum merdeka. Ia belajar dari buku-buku tua, dari khutbah Jumat, dari cerita-cerita para pedagang dan petani. Ia mencintai negerinya, meski belum tahu seperti apa rupa Indonesia itu kelak.
Pertemuan mereka tak terhindarkan. Dua dunia yang seolah dipisahkan oleh sekat budaya dan kepercayaan mulai menyatu lewat percakapan-percakapan kecil, lewat kebaikan yang tak memandang nama belakang, lewat kepedulian saat salah satu jatuh dan yang lain mengulurkan tangan.
Namun cinta, dalam bayang kolonialisme dan adat ketat, tak pernah berjalan mudah. Mereka dihadang oleh harapan keluarga, tekanan sosial, bahkan rasa bersalah terhadap sejarah yang mereka warisi. Tapi seperti sungai yang terus mengalir meski dibendung, hubungan mereka tetap mencari jalannya sendiri.
Di tengah gejolak pergerakan nasional, pertumbuhan kota, dan perubahan zaman, Cisadane Saksi Cinta Mei Ling menyajikan kisah tentang keberanian untuk mencintai melampaui garis-garis yang dibuat manusia. Tentang keinginan untuk menjadi bagian dari negeri ini secara utuh, bukan hanya sebagai penduduk, tapi sebagai manusia Indonesia.
Ini bukan sekadar kisah cinta. Ini adalah kesaksian sebuah masa, di mana tembok identitas perlahan runtuh, dan orang-orang mulai memahami bahwa menjadi Indonesia berarti mencintai semua isinya, tak peduli dari mana darah kita berasal.
Sungai Cisadane masih mengalir hingga hari ini. Ia menyimpan cerita tentang dua jiwa yang memilih untuk menyeberangi segala batas—demi cinta, demi keluarga, dan demi tanah yang mereka sebut rumah.
Air Sungai Cisadane mengalir tenang di bawah cahaya senja. Di tepinya, kehidupan berjalan dalam irama yang membaurkan berbagai kebudayaan: suara azan dari surau kecil bersaing lembut dengan denting lonceng vihara, sementara aroma rempah dan teh melati berpadu di udara. Di sepanjang Pasar Lama, para pedagang menata dagangan mereka. Ada yang menjual batik dari Banten, benang sutra dari Tiongkok, sampai barang kelontong dan rempah-rempah yang menjadi nadi ekonomi setempat.
Pasar Lama bukan sekadar tempat jual-beli, ia adalah panggung kecil perjumpaan antarbangsa. Di sana, orang Tionghoa, Arab, Belanda, Sunda, dan Jawa saling berpapasan, kadang bersaing, kadang bersaudara. Kota ini tidak dibangun oleh satu tangan, melainkan oleh banyak yang hidup berdampingan. Namun dalam diam, sekat-sekat sosial masih terasa.
Di antara bangunan kayu berlantai dua, berdirilah dua keluarga besar dengan sejarah yang tampaknya berseberangan: keluarga Lie, saudagar Tionghoa yang kaya dan disegani, dan keluarga almarhum Haji Sarbini, ulama dan pedagang batik yang ditokohkan masyarakat pribumi.
Kisah ini tidak hanya bermula dari cinta antara Mei Ling, putri bungsu Lie Tiong Ho, dan Jamaludin, anak tunggal dari Haji Sarbini. Kisah ini berawal dari sebuah keinginan bersama untuk meruntuhkan dinding-dinding yang diwariskan sistem kolonial.
Lie Tiong Ho dahulu dikenal sebagai lelaki yang teguh memegang tradisi. Lahir dari garis keturunan perantau dari Fujian, ia membangun bisnis kelontong hingga menjadi jaringan dagang lintas kota. Rumah kayunya di Pasar Lama menjadi pusat pengambilan keputusan bisnis, sekaligus benteng nilai-nilai keluarga yang tak boleh diganggu.
"Kita harus menjaga marga dan nama baik leluhur," begitu kata-kata yang sering ia ulang pada anak-anaknya.
Namun hidup berjalan, dan Mei Ling—anak perempuan terakhirnya—memilih jalan yang lain.
Jamaludin tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Ayahnya, Haji Sarbini, mendidiknya dengan ajaran Islam dan prinsip keadilan. Setelah wafatnya sang ayah, Jamal bekerja sebagai guru dan pedagang kecil-kecilan, menolak hidup mewah meskipun bisa saja ia terlibat dalam jaringan perdagangan keluarganya. Ia memilih jalan perjuangan melalui pendidikan.
Pertemuan antara Mei Ling dan Jamaludin tidak romantis di awal. Mereka bertemu saat Jamal mencari obat di toko milik keluarga Lie, untuk seorang muridnya yang sakit. Sikap sopan dan ketulusan Jamal menarik perhatian Mei Ling. Sedangkan bagi Jamal, kecerdasan dan kelembutan Mei Ling membuatnya terus datang kembali.
Cinta mereka tumbuh seperti pohon kecil yang bertahan di celah batu—perlahan, diam-diam, namun kuat. Mereka tahu tantangan yang menghadang: bukan hanya soal perbedaan agama, tapi juga identitas, kelas sosial, dan bayang-bayang kekuasaan kolonial yang mengkotak-kotakkan warga Hindia.
Tahun 1935 menjadi titik balik.
Tuan Lie jatuh sakit. Di tengah tubuh yang melemah, hatinya mulai terbuka. Perawatan tulus dari Jamaludin, dan keteguhan Mei Ling dalam memperjuangkan rumah tangga mereka, membuat Lie Tiong Ho merenung kembali tentang apa artinya menjadi "orang Tionghoa di Hindia Belanda". Apakah itu berarti hidup selamanya dalam tembok eksklusif? Ataukah justru sudah saatnya membuka pintu?
Di sinilah Sungai Cisadane menjadi saksi.
Di tepiannya, Cap Go Meh dirayakan dengan lampion dan barongsai, dan tak jauh dari situ, Idul Fitri dirayakan dengan tabuhan bedug dan sajian ketupat. Di sinilah perbedaan tidak hanya diakui, tapi dirayakan.
Dan di sinilah, Lie Tiong Ho mengubah arah pandangnya.
Ia mengumpulkan sahabat-sahabatnya sesama pengusaha Tionghoa. Ia berbicara bukan tentang laba, tapi tentang masa depan. Tentang perlunya merangkul Indonesia bukan sekadar sebagai tempat usaha, melainkan sebagai rumah.
"Kita tidak perlu meninggalkan akar kita. Tapi kita harus menumbuhkan cabang dan daun di tanah ini," begitu katanya.
Mei Ling dan Jamaludin, dengan cinta mereka yang tidak tunduk pada batas, menjadi contoh kecil dari apa yang bisa terjadi bila keberanian melampaui prasangka.
Prolog ini bukan sekadar pembuka kisah cinta dua insan. Ini adalah pintu bagi kisah sebuah kota, sebuah bangsa, yang belajar untuk menjadi satu. Di bawah naungan langit Tangerang dan di antara gemuruh tenang Sungai Cisadane, cerita ini akan terus mengalir.
Dan sungai itu, seperti cinta dan perjuangan, tak pernah mengenal sekat.
Baca Novel selengkapnya di https://kbm.id/book/detail/c09dac55-0c4c-4322-961f-52bd8114e533
#NovelSejarah
#CintaTerlarang
#DramaKeluarga
#TionghoaBenteng
#Jasinga1930
#CintaMeiLingJamal
#PerempuanBenteng
#DoaUntukMama
#KesetiaanHati
#TangisDalamHujan
#KenanganIbu
#SuamiIstriMuda
#BentengTangerang
#NostalgiaKolonial
#TradisiTionghoa
#PemakamanAdat
#HujanDanAirMata
#MeiLingDanJamal
#DramaKolonial
#NarasiCintaSejarah
#KehilanganTerbesar
#PerjalananHati
#TangisSunyi
#RinduMama
#PerempuanTegar
#SepucukSurat
#PerihYangDiam
#DoaDiLangitJasinga
#PuisiKehilangan
#TetesAirMata
#PulangYangTertunda
#JatuhYangMengisyaratkan
#TradisiDanCinta
#BentengDanPesanTerakhir
#KolonialDanKasih
#MemoarMeiLing
#JiwaYangRetak
#SuratDariSari
#TangisDiPangkuanJamal
#LangitMalamJasinga
#DoaUntukYangTiada
#HujanDanDoa
#IstriYangTerluka
#SuamiYangSetia
#IsyaratLangit
#KepergianMama
#SuaraDariLangit
#LangkahSetelahDuka
#CintaYangDiridhoi
#KisahDiUjungDoa