ca-pub-2565852941147038 Kabut Sampah # Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup

Kabut Sampah # Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup

Hadi Hartono
By -
0

Kabut Sampah di Kabupaten Konoha#Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup

(INI CUMA CERPEN, JANGAN DIPIKIRIN)

Author: Hadi Hartono



Sesi 1: Kabut Sampah di Ujung Konoha


Kabupaten Konoha, daerah yang hanya berjarak dua jam dari pusat ibu kota, berdiri seperti bayang-bayang kota besar: tersamar, terlupakan, tapi penuh kenyataan yang menyengat. Di sebelah utara wilayah ini, berdiri TPA Sampanji—tempat pembuangan akhir yang tak pernah benar-benar akhir. Sampah datang setiap hari, tapi pengelolaannya berhenti di truk-truk yang menumpuk dan buldoser yang tak pernah mengaduk rata.


Rafi, siswa kelas 3 SMP Negeri 2 Konoha, melewati kawasan itu setiap hari. Jalan menuju sekolahnya membelah permukiman padat, berliku di antara kebun kosong, dan akhirnya menanjak di sisi barat TPA. Sudah sejak kelas 5 SD, dia hafal aroma menusuk yang menyambutnya tiap pagi. Gas metana, air lindi, dan bau makanan busuk adalah teman setia perjalanan sekolahnya.


“Masih hidup tuh gunungnya,” kata Dimas, sahabat Rafi, saat mereka bersepeda bersama. “Dengar-dengar, pemerintah mau pindahin TPA-nya ke desa sebelah. Katanya biar kelihatan bersih waktu kunjungan menteri.”


Rafi mendengus. “Pindah tempat tapi gak berubah cara, percuma. Gunungan sampah tetap gunung.”


Rumah Rafi terletak di Kampung Dalam, sekitar dua kilometer dari TPA. Ayahnya, Pak Samin, adalah pemulung senior yang bekerja sejak TPA Sampanji masih dikelola manual tanpa pagar atau gerbang. Kini pun, setelah puluhan tahun, perubahannya tidak banyak. Hanya ada spanduk besar yang ditulis dengan huruf kapital: “KAWASAN TERBATAS – DILARANG MEMASUKI AREA TPA TANPA IZIN”. Tapi izin bisa dibeli dengan rokok atau sekantong kopi untuk satpam.


Di ruang makan rumahnya yang berdinding triplek, Rafi pernah bertanya pada ayahnya, “Pak, beneran kita punya duit triliunan ya di APBD?”


Pak Samin mengunyah perlahan nasi jagung yang mereka makan hari itu. “Bener. Aku pernah dengar waktu rapat RW. Tapi ya itu... duit banyak belum tentu buat bersihin rakyatnya.”


Percakapan itu menancap kuat di kepala Rafi. Ia tahu ayahnya bukan orang terpelajar, tapi kata-katanya mengandung kebenaran yang tidak ditemukan di buku pelajaran IPS. Kabupaten Konoha seolah tumbuh dari kontradiksi: antara jumlah penduduk yang terus naik dan kesadaran pengelolaan sampah yang jalan di tempat. Mereka hidup di bawah bayang-bayang kota megapolitan Jakarta, tapi tidak pernah kebagian cahayanya.


Suatu siang, ketika pelajaran IPA, Bu Lilis membawa murid-muridnya ke bukit belakang sekolah untuk melihat sistem daur ulang kompos. Tapi pandangan mereka terhalang kabut putih pekat dari arah barat. “Itu dari TPA, Bu?” tanya Rafi.


Bu Lilis mengangguk, tapi matanya menunduk. “Iya. Harusnya sudah ada pembakaran terkontrol. Tapi gas metananya dibiarkan terbakar sendiri. Bahaya sebenarnya.”


Seorang murid menutup hidung. “Kok dibiarkan?”


“Ibu guru juga gak tahu jawabannya,” katanya lirih.


Hari itu, Rafi pulang lebih cepat karena pusing akibat bau menyengat. Di depan rumahnya, Pak Samin sedang memisahkan botol dan plastik. “Sampah-sampah ini sebenarnya emas,” kata ayahnya. “Asal tahu cara ngolahnya.”


Rafi menatap botol-botol itu. Ada yang berlabel dari Jakarta, ada juga dari restoran terkenal di BSD. Semua berkumpul di TPA Sampanji—satu-satunya gunung yang bertambah tinggi bukan karena alam, tapi karena kelalaian manusia.


Dan di bawah bayang-bayangnya, hidup terus berjalan.

#####




Sesi 2: Ledakan yang Tak Didengar


Satu pekan setelah kabut tebal menyelimuti sekolah, Kabupaten Konoha dilanda hujan deras selama tiga hari berturut-turut. Air menggenangi pemukiman warga, dan di beberapa titik muncul genangan bercampur lumpur hitam dan bau menyengat. Rafi dan ibunya, Bu Endah, sibuk menyeka air yang masuk ke dapur rumah mereka.


“Kita tinggal di bawah kaki gunung sampah,” gumam ibunya dengan getir. “Jadi jangan kaget kalau banjir kita bukan cuma air, tapi juga ampas dari atas sana.”


Hari Jumat sore, saat sebagian besar warga tengah bersiap untuk istirahat akhir pekan, terdengar dentuman dari arah TPA Sampanji. Bukan dentuman keras seperti petasan atau gempa, tapi lebih seperti suara retakan besar disusul geraman longsor. Warga yang tinggal paling dekat dengan TPA sontak panik. Mereka berhamburan keluar rumah. Beberapa naik ke atap untuk melihat apa yang terjadi.


Ternyata, salah satu lereng buatan di sisi timur TPA runtuh. Longsor sampah menciptakan aliran lumpur pekat sepanjang 200 meter, menghantam pagar seng dan merangsek ke jalan kecil yang biasa dilalui pemulung. Lima rumah terdampak langsung. Seorang nenek penjual sayur, Mak Ijah, tidak sempat menyelamatkan diri. Ia ditemukan tertimbun di bawah puing-puing bambu dan plastik dengan tubuh penuh luka.


Kabar itu menyebar cepat. Rafi dan ayahnya segera menuju lokasi untuk membantu evakuasi. Mereka menyusuri jalan becek yang kini berubah jadi sungai kecil, penuh dengan kemasan plastik, pembalut, dan botol minuman berlabel bahasa asing. Udara terasa sesak, bukan hanya karena bau, tapi juga kepanikan yang menyelimuti.


“Aku kenal Mak Ijah,” ujar Rafi lirih saat melihat jasad wanita tua itu diangkut ke atas tandu darurat. “Dia sering kasih aku pisang goreng gratis.”


Pak Samin menepuk bahu anaknya. “Kadang, yang peduli sama orang miskin, justru orang miskin juga.”


Tak lama kemudian, mobil dinas datang. Camat dan beberapa staf terlihat berdiri dengan jas hujan bersih. Wartawan mulai berdatangan, kamera dan mikrofon teracung ke mana-mana. Ada yang sibuk mewawancarai saksi, ada juga yang mengambil gambar drone dari atas TPA.


Di depan kamera, seorang pejabat berbicara dengan intonasi formal, “Kami akan membentuk tim investigasi. Kejadian ini sangat kami sesalkan…”


Rafi menggertakkan gigi. Kata-kata itu terasa hampa. Sejak kecil, ia sudah terlalu sering mendengar frasa “kami menyesalkan” tanpa tindakan nyata. Ia menoleh ke arah ayahnya, lalu berbisik, “Kalau mereka benar-benar peduli, kenapa baru datang setelah ada korban?”


Pak Samin hanya menatap hampa ke arah gunungan sampah yang kini terlihat retak seperti luka besar di tengah kota. Beberapa truk baru masih terus berdatangan, seakan tidak terjadi apa-apa. TPA Sampanji tetap menerima “kiriman” dari kota tetangga, restoran mewah, dan kantor-kantor megah.


Malam itu, Rafi tak bisa tidur. Di kepalanya berputar-putar semua kejadian hari itu. Ia menyalakan senter kecil dan membuka kotak kayu di bawah tempat tidurnya. Surat lama yang pernah ia tulis untuk dirinya sepuluh tahun mendatang masih tersimpan rapi.


Tapi malam ini, ia menulis lagi.


> “Hari ini, gunungan itu benar-benar meledak. Tapi hanya kami yang mendengarnya. Yang lain sibuk dengan pernyataan, bukan penyelesaian. Mungkin, suatu hari nanti, aku harus menjadi orang yang mengubahnya. Bukan karena aku hebat, tapi karena aku muak.”


Di luar, hujan belum berhenti. Di atas sana, gunungan itu belum runtuh seluruhnya. Tapi hati Rafi mulai membangun sesuatu yang lain—tekad.


###


Sesi 3: Segel di Pintu Neraka


Sebulan berlalu sejak longsor sampah menewaskan Mak Ijah. Luka itu belum sembuh di hati warga RT 12 Kampung Ledeng. Tapi kabar mengejutkan datang pagi itu, saat sejumlah kendaraan pelat merah dan rombongan aparat berseragam cokelat kehutanan memasuki area TPA Sampanji. Mereka membawa papan bertuliskan: DISEGEL – ATAS PERINTAH KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP#


Para pemulung yang biasa beraktivitas sejak subuh langsung menghentikan langkah. Para sopir truk pengangkut sampah juga tertahan di pintu gerbang. Di bawah tatapan heran dan gugup mereka, seorang pria berkemeja putih, yang belakangan diketahui sebagai pejabat dari Kementerian LH, berdiri dan membacakan keputusan.


“Berdasarkan hasil investigasi, TPA Sampanji terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Cemaran lindi, kebakaran gas metana, dan kelalaian sistematis telah menimbulkan korban jiwa. Mulai hari ini, lokasi ini resmi disegel untuk waktu yang tidak ditentukan.”


Sorak sorai kecil terdengar dari beberapa warga, terutama para aktivis muda dari komunitas lingkungan lokal yang sudah lama memperjuangkan penutupan TPA tersebut. Tapi di sisi lain, banyak pula wajah cemas—khususnya pemulung yang menggantungkan hidup dari plastik dan logam sisa.


Rafi, yang kini aktif membantu komunitas #KonohaHijau, ikut berdiri di barisan depan. Di tangannya tergenggam ponsel yang merekam setiap kata sang pejabat. Ia tahu, ini bukan kemenangan akhir—baru awal dari perjuangan panjang. Tapi bagi Rafi, segel itu adalah bukti bahwa suara warga kecil bisa mengguncang tembok birokrasi, jika mereka cukup keras dan konsisten menyuarakannya.


Di rumah, Bu Endah menyambut anaknya dengan pelukan hangat. “Kamu lihat segelnya?” tanyanya.


Rafi mengangguk. “Aku yang rekam. Bahkan kutulis di caption: ‘Pintu neraka akhirnya ditutup. Tapi pekerjaan surga baru dimulai.’”


Bu Endah tertawa kecil, lalu menatap jendela. “Sekarang tinggal pastikan jangan ada yang diam-diam buka kembali.”


Sore itu, langit Konoha tampak lebih jernih dari biasanya. Tidak ada asap tebal. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan dari arah timur. Rafi duduk di beranda rumah, memandang jauh ke arah TPA yang kini sunyi.


Ia tahu, kertas-kertas laporan dan pidato tidak akan mampu mengangkat satu ton sampah pun dari tanah. Tapi ia juga tahu, selama masih ada yang peduli dan bergerak, ada harapan di tengah busuknya tumpukan.


Dan Rafi, anak pemulung, telah memilih jalannya.


Bukan untuk menghindari gunungan itu—melainkan untuk mengubahnya dari dalam.



---

Disclaimer:

Cerita ini adalah karya fiksi. Nama tempat, tokoh, dan kejadian dalam cerpen ini hanya merupakan hasil imajinasi penulis dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan atau menyinggung individu, institusi, atau wilayah tertentu secara langsung. Jika terdapat kesamaan nama atau peristiwa dengan kenyataan, hal tersebut adalah kebetulan semata. Cerpen ini ditulis untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu pengelolaan sampah dan lingkungan hidup di Indonesia.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!